TUGU JOGJA

Saat anda tiba di kota Yogakarta melalui bandara Adi Sucipto, untuk menuju tengah kota anda akan menyusuri jalan Laksda Adi Sucipto atau jauh lebih dikenal dengan sebutan jalan Solo. Jalan ini cukup lebar dan lurus langsung menuju tengah kota. Melewati daerah Maguwo, Janti, Ambarukmo, Demangan sebelum akhirnya masuk kawasan kota Jogja. Jika anda berjalan kebarat lurus sebelum belok kearah kiri menuju kawasan Malioboro, anda akan menemukan sebuah tugu tidak terlalu besar setinggi 15 meter berwarna putih dengan beberapa hiasan berwarna kuning emas, itulah Tugu Jogja yang banyak mengandung sejarah dan memiliki arti filosofis yang mendalam. Pada setiap kesempatan banyak wisatawan mengabadikan kunjungannya ke Jogja dengan berfoto-ria disekitar tugu ini. Dengan foto besama tugu Jogja menjadi bukti tak terbantahkan kalo sedang berada berwisata di kota Pelajar atau kota Gudeg.
Tugu Jogja Kini
Tugu Jogja merupakan salah satu ikon kota yang terkenal dengan Gudeg dan Bakpianya ini. Selain bermakna filosofis bersatunya pemimpin dengan masyarakatnya, tugu Jogja memiliki aura magis didalamnya. Dalam kacamata imajiner, terdapat garis yang menghubungkan antara Laut Selatan, Krapyak, Keraton, Tugu dan puncak gunung Merapi. Tentu saja garis itu akan melewati Ringin Kemabar atau sepasang Beringin Kurung yang ada di belakang dan depan keraton. Konon katanya setiap raja keraton Yogyakarta secara kebatinan menjadi suami dari Nyi Roro Kidul atau penguasa Laut Kidul. Sedangkan di puncak merapi ada tokoh penunggu yang masih ada jalinan erat dengan raja Jogja dan Penguasa Laut Selatan.
Tugu Jogja bernama asli Tugu Golong-Gilig dibangun tahun 1756 oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I, setahun setelah berdirinya bangunan Keraton Yogyakarta. Pada awalnya tugu Golong-Gilig, berbentuk gilig (silinder) dengan atasnya berbentuk bulat (golong), setinggi 25 meter. Tugu ini menggambarkan sebagai bersatunya masyarakat dengan pemimpinya (Manunggaling Kawula Gusti) dalam menghadapi penjajahan Belanda. Pada 10 Juni 1867 atau hampir seabad tugu ini berdiri, terjadi gempa hebat yang mengakibatkan tugung Golong-Gilig runtuh dan rusak parah. Pada tahun 1889 tugu selesai direnovasi dan berdiri lagi namun dengan kondisi dan bentuk yang berbeda.

Tingginya berkurang menjadi 15 meter dan bentunyapun berubah total. Pihak kolonial dengan strateginya mengubah nama tugu ini menadi Tugu Pal Putih dengan candra sengkala Wiwaraharja Manunggal Manggalaning Praja yang berarti pintu menuju kesejahteraan bagi para pemimpin Negara. Sangat jauh dari semangat yang tersirat pada bentuk Tugu yang lama. Itu dilakukan karena kolonial Belanda untuk mengilangkan lambing persatuan yang ada dalam Golong-Gilig demi tujuan politik devide-et-impera (politik pecah belah) pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian bisa kita lihat dan rasakan bahwa strategi itu gagal total. Anda bisa merasakan hingga kini masyarakat Jogja tetap menghormati dan mencintai rajanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *